19 Juli 2010

Cinta dan Perkawinan

Suatu hari Plato bertanya kepada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?” Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan tidak boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu ranting saja. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, itu artinya kamu telah menemukan cinta.”

Lalu Plato pun berjalan, dan tidak berapa lama dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun. Gurunya kemudian bertanya, ”Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, ”Aku hanya boleh membawa satu saja dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan ranting yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat aku melanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru aku menyadari bahwasanya ranting-ranting yang aku temukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya.”
Gurunya kemudian berkata, ”Jadi, ya itulah CINTA.”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi kepada gurunya, ”Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?” Gurunya pun menjawab, ”Ada hutan yang subur di depan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (berbalik) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan.”
Lalu Plato berjalan ke dalam hutan. Beberapa waktu kemudian dia kembali kepada gurunya.

”Sebab, berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi di kesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan aku rasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi aku putuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya.”
Gurunya pun menjawab, ”Dan, ya itulah PERKAWINAN.”


”Cinta itu, semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati ketika kamu dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih. Namun, ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan..... Tidak akan ada sesuatupun yang didapat dan tidak dapat pula dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Maka, terimalah cinta apa adanya.....”

”Perkawinan adalah kelanjutan dari cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan. Ketika kamu mencari yang terbaik menurutmu di antara pilihan yang ada, maka itu akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya. Ketika kesempurnaan ingin kamu dapatkan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.....”


Demikian Sang Guru mengakhiri kata-kata bijaknya kepada Plato.

15 Juli 2010

Menjadi Bidadari

Dalam buku Tamasya ke Taman Surga, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengisahkan tentang
bidadari-bidadari surga. Bidadari-bidadari itu adalah wanita suci yang
menyenangkan dipandang mata, menyejukkan jika dilihat, dan menentramkan hati
setiap pemiliknya. Rupanya cantik jelita, kulitnya mulus. Ia memiliki akhlak
yang paling baik, perawan, kaya akan cinta dan umurnya sebaya. Siapakah
orang yang beruntung mendapatkannya? Siapa lagi kalau bukan orang-orang yang
syahid karena berjihad di jalan Allah, orang-orang yang tulus dan ikhlas
membela agama Allah.
Sebagian kita mungkin berfikir, kapan kita berjumpa dengan bidadari-bidadari
itu, apakah ia akan kita miliki, adakah ia sedikit diantara mereka mendiami
bumi sekarang ini?
Bidadari-bidadari itu kini memberi nyawa pada kehidupan kita. Semenjak Islam
mulai bangkit lagi di bumi ini. Bidadari-bidadari itu menghias diri setiap
hari. Dia berwujud manusia yang berhati lembut, menyenangkan dipandang mata,
menyejukkan dilihat, menentramkan hati setiap pemiliknya. Dialah wanita
sholehah yang menjaga kesucian dirinya.
Seperti apakah bidadari bumi itu? Bisakah kita mengikuti langkahnya? Apakah
dia anak, adik, atau keponakan perempuan kita? Atau apakah ia istri dan ibu
kita? Atau ia hanya berupa angan yang sebenarnya bisa kita realisasikan,
tapi syetan kuat menahan?
Bidadari itu adalah wanita sholehah yang menjaga kesucian dirinya. Setiap
perempuan bisa menjadi bidadari bumi, tapi siapkah kita menjadi bidadari
yang indah dipandang mata? Ia adalah wanita yang paling taat kepada Allah.
Ia senantiasa menyerahkan segala urusan hidupnya hanya kepada hukum dan
syariat Allah.
1. Ia menjadikan Al-Quran dan Al-Hadits sebagai sumber hukum dalam mengatur
seluruh aspek kehidupannya.
2. Ibadahnya baik dan memiliki akhlak serta budi pekerti yang mulia. Tidak
hobi berdusta, dan bergunjing ria.
3. Berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya. Ia senantiasa mendoakan
orang tuanya, menghormati mereka, menjaga dan melindungi keduanya.
4. Ia taat kepada suaminya. Menjaga harta suaminya, mendidik anak-anaknya
dengan kehidupan yang islami. Jika dilihat menyenangakan, bila dipandang
menyejukkan, dan menetramkan bila berada didekatnya. Hati akan tenang bila
meninggalkanya pergi. Ia melayani suaminya dengan baik, berhias hanya untuk
suaminya, pandai membangkitkan gairah dan memotifasi suaminya untuk berjuang
membela agama Allah.
5. Ia tidak bermewah-mewah dengan dunia, tawadhu, bersikap sederhana.
Kesabarannya luar biasa atas janji-janji Allah, ia tidak berhenti belajar
untuk bekal hidupnya.
6. Ia bermanfaat di lingkungannya. Pengabdianya kepada masyarakat dan agama
sangat besar. Ia menyeru manusia kepada Allah dengan kedua tangan dan
lisannya yang lembut, hatinya yang bersih, akalnya yang cerdas dan dengan
hartanya.


“Dan dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita
sholehah.” (HR.Muslim)


“Ya Allah, jadikanlah aku, ibuku, kakak dan adiku serta wanita-wanita
di sekelilingku menjadi bidadari. Yang mampu memberikan nafas bagi kehidupan
ini, yang mampu memberikan kekuatan bagi suami kami untuk mencari nafkah,
yang menyejukkan jika di pandang, dan yang mencerdaskan masyarakat dengan
ilmu, amal dan juga budi pekerti. Amiin.....”

9 Juli 2010

Kutunggu Ta'arufmu

Kubuka mataku seirama fajar yang menggelinding menyongsong senja, begitu pun asaku terlukis dari hari ke hari mengharap ta'arufmu hingga kini di ujung galah usiaku yang hampir seperempat abad. Sukmamu yang melanglang menjemput sukmaku di sini, menguatkan tegarku akan kebesaran Illahi.

Tak jauh berbeda nasibku denganmu, bagaimana mungkin kau bisa mendampingiku andai saat ini kau tak setegar karang, bagaimana kau merangkul pundakku jika saat ini jiwamu hanya serapuh puing-puing yang berserakan...

Sebanyak hitungan nafasmu saat ini, kau mampu menjaga kesabaranmu, aku yakin kau pun lebih mampu memeliharanya, karena itu yang akan mengantarkan ta'arufmu padaku.

Jangan pernah berpikir bahwa dirimu hidup sendiri, karena aku tak pernah bersembunyi, mungkin Allah masih memisahkan kita sementara waktu agar kita lebih mampu mendewasakan diri.

Apakah tak cukup bukti akan kesetiaanku? Lihatlah kerutan ari mengurangi detik demi detik bilangan usiaku yang entah tinggal berapa...

Terima kasih atas do'a-mu untukku.

Semoga Allah senantiasa menjaga kesabaran di hati kita, menyempurnakan setengah dien kita, dalam ridha dan cinta kasih-Nya.

Amiin Ya Rabbal ‘alamiin…

8 Juli 2010

Bunga Untukmu

”Aku menginginkannya, dan aku harus memilikinya. Melati itu...dia begitu anggun, menebarkan harum yang mengisyaratkan keindahan sukmanya. Aku terpikat, dan aku ingin dia yang tumbuh di taman hatiku.”
”Oya?! Lantas, apa yang engkau lakukan?”
”Aku mendatangi taman tempat melati itu menebarkan wanginya.”
”Lalu?”
”Aku katakan padanya bahwa aku menginginkannya, dan dia bersedia untuk mengisi taman jiwaku. Maka, segala upaya aku lakukan untuk bisa memilikinya, apapun itu.”
”Tidakkah engkau memohon kepada-Nya dengan segenap hatimu agar Ia memberikan yang terbaik untukmu dan melati itu, setelah segala daya kau curahkan?!”
”Waktu itu hatiku hanya menginginkannya, maka aku harus memilikinya. Aku pun sangat yakin bahwa dia akan menjadi milikku. Yang ada dalam benakku saat itu adalah bagaimana agar aku bisa segera menjadikannya melatiku. Dan aku beranggapan bahwa Dia tidak berhak untuk ikut campur dalam urusanku dengan melati. Sekian waktu aku berupaya dan menunggu dengan segala dayaku untuk bisa meraihnya, dan itu membuatku letih, hingga akhirnya akupun terhempas lalu jatuh...”
”Masya Allah...”
”Lalu...aku memutuskan untuk meninggalkan melati itu, meski sakit yang aku rasa, sungguh...bahkan nyeri itu masih terasa hingga kini. Namun, aku menyadari kini, bahwa Sang Pemilik jiwa ini lebih berhak atas diriku dan melati. Yah...mungkin...melati itu...keindahannya memang tak pantas untuk kumiliki...”
”Ah, seandainya engkau menyadari hal itu sejak dahulu, bahwa hanya Dia yang berhak atas dirimu dan melati itu, mungkin engkau tak perlu terluka dan sakit, mungkin engkau tak akan terhempas dan jatuh.”
”Ya...aku memang salah...”
”Ah, sudahlah...lupakan...agar luka itu tak semakin berdarah...”
”Dan, ketika aku tersudut lemah tak berdaya karena kecewa yang sebabkan luka, tiba-tiba saja hadir sang mawar yang mampu mengembalikan binar harapan di jiwaku, saat yang lain menjauh dan tak peduli lagi dengan perasaanku. Aku terpesona olehnya...”
”Lantas?”
”Akupun menginginkannya...”
”Begitu mudahnya engkau terpesona pada bunga-bunga?!”
”Kamu tidak tau, bahwa butuh waktu yang lama bagiku untuk melupakan melati hingga membuatku nyaris meninggalkan segalanya. Dan dalam keletihan jiwaku, mawar hadir menawarkan ketulusan. Salahkah jika pada akhirnya aku memutuskan untuk merajut asa bersamanya?!”
”Tidak, engkau tidak salah. Kalau begitu, segeralah engkau petik mawar itu dengan cara yang benar, agar kelopaknya tidak tergores dan luka.”
”Tapi...”
”Apa?”
”Apakan dia bersedia menerimaku?”
“Engkau sudah mencobanya?”
“Belum.”
”Kenapa?”
“Aku belum cukup berani.”
“Kalau begitu, lupakan mawar.”
“Maksudmu?”
“Engkau ingin memetik mawar tetapi engkau takut tergores oleh durinya?!”
“Entahlah...”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?! Menyimpan bayangnya di dalam ruang imajimu saja?! Memikat mawar bukan dengan kata-kata indahmu yang hanya memberikan harapan semu, tapi dengan keberanianmu untuk datang kepadanya dan mengungkapkan isi hatimu, menyatakan kesungguhanmu untuk menjadikannya penghias rumah jiwamu. Namun, kamu pun juga harus siap untuk tergores oleh durinya, perih memang, tapi bukankan cinta memang harus diperjuangkan, dan itu butuh pengorbanan bukan?!”
”Mmm...baiklah, akan aku coba untuk menjemput asa itu. Oya, doa-kan ya, semoga kali ini berjalan dengan baik.”
”Insya Allah... Tapi perlu kamu ingat, bahwa ada Dia yang berhak atas dirimu. Silahkan engkau berencana dan berupaya, mencoba mewujudkan segala asa. Namun, campur tangan-Nya selalu ada dalam setiap episode hidupmu. Maka, libatkanlah Dia dalam setiap hembusan nafasmu, karena hanya Dia yang lebih tau apakah setiap yang engkau inginkan itu menjadi yang terbaik atau bukan, untuk hidup yang engkau jalani. Pahami itu...”
”Ya, aku mencoba memahami itu...”
“Engkau pun juga harus memahami ini, bahwa jika engkau sudah mengerahkan segala daya untuk menyunting sang mawar namun ternyata dia memang bukan untukmu, jangan pernah merasa tak ada lagi asa dan jangan lagi terluka. Bukalah jendela di sanubarimu, maka akan kau lihat hamparan beraneka bunga yang begitu indah, dan engkau pun bisa memilih, bunga mana yang akan kau petik dengan segenap cinta atas nama cinta-Nya. Tetapi yang pasti, yakinlah bahwa Dia telah memilihkan bunga terindah untuk menghiasi taman hatimu, pada saat-Nya nanti…”
“Baiklah…”



untuk seorang sahabat : "jangan ngeyel sama Allah, tapi yakinkan hatimu bahwa Allah sedang menyiapkan skenario-Nya yang jauh lebih indah dari apa yang engkau inginkan.....”

Ah, Jodoh......

Beberapa waktu yg lalu aku sempat berbincang dengan seorang teman di dunia maya yg baru saja menyempurnakan agamanya. Dan pada akhirnya perbincangan itu beralih kepada soal jodoh. Aku mencoba menuliskan perbincangan kami di sini, semoga bisa memberikan ibrah meskipun sedikit.

Aku : "Kamu kenal dimana ama tuh ikhwan?"

Dia : "Dikenalin ama sodaraku."

Aku : "Sebelumnya kamu udah pernah kenal ama dia?"

Dia : "Belum."

Aku : "Belum?! So, bagaimana kamu bisa langsung yakin bahwa dia adalah jodohmu..??"

Dia : "Entahlah...aku hanya mengenalnya sekilas waktu kami ta'aruf (perkenalan), selanjutnya hanya mencoba mencari informasi tentang dia dari orang-orang yg bisa dipercaya. Dan yg membuatku sangat yakin tentang dia yaitu karena orang tuaku langsung suka sama dia, langsung membolehkan, padahal aku yakin benar seperti apa kriteria calon menantu yg diajukan oleh ayahku dan aku merasa bahwa dia tidak masuk kriteria..!! Tapi entah kenapa ayahku langsung setuju kalau aku menikah dengan dia, dan yg pasti Allah yg meyakinkan hatiku bahwa dia orang yg tepat untukku. Semuanya terasa begitu mudah..."

Aku : "Mmm...maaf...tapi sepertinya dulu kamu pernah cerita sama aku kalau kamu menyimpan perasaan sama seorang ikhwan yg kamu kagumi di kampusmu..?!"

Dia : "Mmm...iya sih... Eh, kamu juga kan..?? Kamu juga sedang mengagumi seseorang kan..?? Dan berharap dialah takdirmu..??"

Aku : "Iya sih... Tapi bagaimana kamu bisa memilih laki-laki lain sedangkan aku tau bahwa kamu sangat mengaguminya dan berharap kepadanya..?"

Dia : "Ya...aku memang pernah mengaguminya, karena di mataku dia seorang laki-laki shalih, cerdas dan mandiri. Dan laki-laki seperti itulah yg aku inginkan untuk menjadi pendamping hidupku. Aku sangat berharap bahwa suatu saat perasaan kagumku kepadanya akan berakhir dengan indah sebagaimana kekaguman yg disimpan Fatimah kepada Ali hingga Allah menyatukan mereka dalam keagungan cinta... Sekian lama aku menyimpan kekaguman itu. Aku selalu menyebut namanya dalam setiap doaku, berharap bahwa dialah yg akan menjadi takdirku. Hingga pada akhirnya, ada seorang laki-laki shalih yg datang kepadaku, namun itu bukan dia. Aku sempat merasa ragu, karena aku merasa yakin bahwa dia yg aku kagumi pasti akan datang dan memintaku untuk menjadi bagian dari kisah hidupnya. Jika karena nafsu, mungkin aku akan menolak laki-laki shalih itu dan tetap menunggunya. Maka, aku putuskan untuk istikarah, meminta jawaban dari Allah tentang siapakah laki-laki yg tepat untukku. Dan entah kenapa aku tidak memiliki alasan yg tepat untuk mengatakan 'tidak' kepada lak-laki shalih itu. Hingga pada akhirnya aku justru merasa ragu dengan keshalihan laki-laki yg sempat aku kagumi itu setelah aku mencoba mencari informasi tentang dia saat ini...dia tak seperti sosok laki-laki shalih yg aku kenal dahulu... Dan aku berhenti berharap tentang dia, karena Allah telah menggantinya dengan yg lebih baik."

Aku : "Hmm..."

Dia : "Kenapa..?"

Aku : "Nothing. Hanya saja...aku masih ingin berharap kepadanya..."

Dia : "Sizt, kita tak pernah tau skenario apa yg telah Allah buat untuk kita. Kita tak pernah tau siapa jodoh kita dan kapan kita bertemu dengannya. Ketika kita mengagumi seseorang yg menurut kita baik dan kita sangat berharap bahwa dia yg akan menjadi jodoh kita, menurutku itu bukan sebuah kesalahan. Hanya saja kita tetap harus menjaga hati kita agar perasaan kagum dan suka itu tidak menjadikan hati kita sakit karena angan-angan yg terlalu. Dan kita harus memiliki keyakinan bahwa Allah LEBIH TAU siapa orang yg tepat untuk kita pada saat yg tepat pula. Kalau dia yg kita kagumi, kita cintai, ternyata bukan takdir kita, apakah lantas kita akan menggugat-Nya..?? Jujur, akupun sempat merasa tidak terima kepada Allah, kenapa bukan dia yg aku kagumi, tapi justru dia yg lain yg menjadi jodohku. Namun aku sadar, bahwa hanya Allah yg berhak atas diriku dan Allah tak pernah salah memilihkan yg terbaik untukku. Maka, ketika semuanya kita kembalikan kepada Allah dan kita mencoba ikhlas dalam menerima segala ketentuan Allah, maka hati ini akan terasa lapang, hanya ada rasa syukur, dan itu yg akan mendatangkan keberkahan-Nya..."

Aku : "Kamu bisa mengatakan ini karena kamu sudah menikah...!! Maka, salahkah jika aku masih tetap menyimpan kekagumanku pada dia yg aku kagumi dan berharap suatu saat Allah menjawab doaku agar bisa bersamanya..?!"

Dia : "Kamu tidak sepenuhnya salah. Tapi kamu harus yakin bahwa jika bukan dia, maka pasti ada yg jauh lebih baik daripada dia, yg Allah pilihkan untukmu. Mungkin saat ini kamu melihatnya sebagai 'yg terbaik' di hatimu, tapi belum tentu Allah menjadikannya yg terbaik bagimu kelak. Tak ada salahnya kita menyimpan kekaguman pada seorang yg kita anggap shalih, seperti kisah Fatimah dan Ali, namun mereka tak pernah sekalipun mengumbar perasaannya. Mereka saling mengagumi, namun kekaguman itu tulus, bukan karena nafsu, dan mereka tetap menjadikan Allah sebagai sebaik-baik pemberi keputusan..!!"

Aku : "Wallahu'alam..."

Dia : "Ah, jodoh itu memang sebuah misteri Sizt...hanya akan terkuak ketika Allah benar-benar telah menghendakinya..."

Aku : termenung sambil pikiranku membenarkan kata-katanya. dan merenung sambil meyakinkan diri bahwa kalo udah jodoh nggak akan kemana, karena jodoh kita nggak akan tertukar. merenungkan bahwa seseorang yg aku kagumi selama ini ternyata bukan orang yg tepat untukku. meyakini bahwa Allah pasti telah menyiapkan yg terbaik untukku. Ittakillah......

7 Juli 2010

Maka Aku Menantikanmu...

Dalam belaian asa
Aku menanti sebuah jiwa
Yang setegar karang
Hingga ia tak rapuh oleh ombak yang menggemuruh
Yang sekokoh gunung
Hingga ia tak roboh oleh angin yang menderu

Dalam belaian asa
Aku menanti sebuah jiwa
Yang secerah mentari
sebab ia senantiasa memberikan kehangatan pada bumi
Yang sebening embun
sebab ia senantiasa memberikan kesejukan pada dedaunan
Yang seindah pelangi
sebab ia senantiasa memberikan warna pada cakrawala


Hmm...entah mengapa akhir-akhir ini aku sering banget mendapat pertanyaan “kapan kamu nikah?” atau “kapan nih aku kondangan ke tempatmu?” bahkan sempat mendapat sebuah ejekan “masak temen-temennya udah pada nikah, malah udah ada yang punya anak, lha kok kamu masih betah aja sih nge-jomblo?!” Dan selalu aku jawab dengan senyuman seraya berkata “biarkan saat itu indah pada waktu-Nya...”

Aku sendiri nggak tau apa alasan mereka menanyakan hal tersebut kepadaku, mending kalau sekali dua kali, tapi ini sering kali dan oleh banyak orang, tidak hanya satu dua orang. Apakah karena usiaku yang hampir seperempat abad dan wajahku sudah terlihat cukup dewasa (baca : tua) sehingga sudah selayaknya mendapatkan pertanyaan seperti itu, ataukah karena teman-teman satu angkatanku saat kuliah dan adik-adik tingkatku udah banyak yg nikah, atau memang mereka aja yang pengen ngegodain aku?! Entahlah...

Risih juga sih... Tapi jujur, kadang memang ada sebersit asa dalam hatiku, berharap saat itu hadir dan memberikan rona dalam hidupku. Berharap ada seorang laki-laki shalih yang Allah antarkan kepadaku untuk menjadi teman dalam perjalanan menuju surga-Nya. Seseorang yang bisa menguatkan ketika aku mulai rapuh. Seseorang yang bisa menopang ketika aku mulai luruh. Seseorang yang bisa menuntun ketika aku mulai lelah.

***
Aku tahu, bahwa ketika Dia belum jua mempertemukanku dengan engkau yang pasti menjadi bagian dalam kisah hidupku, adalah karena mungkin engkau belum setegar karang dan masih serapuh puing-puing berserakan. Aku yakin, saat inipun engkau juga berharap untuk bisa menjadikanku sebagai bagian dari kisah hidupmu. Mungkin Allah sengaja untuk memisahkan kita sementara waktu agar kita bisa lebih mendewasakan diri sebagai persiapan untuk menjelajahi kehidupan yang sesungguhnya.

Sebanyak hitungan nafasmu saat ini, aku yakin engkau mampu untuk menjaga kesabaranmu, karena itu yang akan mengantarkanmu kepadaku. Aku pun juga masih setia menantimu, percayakah engkau? Bilangan waktu yang kian hari memudarkan rona pada wajahku tak kan pernah sanggup untuk membuatku berhenti menunggumu. Aku percaya kepadamu, bahwa pada saat-Nya nanti engkau akan datang dengan cinta-Nya dan membawa sejuta asa untuk membawaku ke surga, melangkah bersama untuk menyempurnakan setengah dari dien yang mulia. Aku meyakini itu, maka aku menantikanmu, hingga saat cintaku temukan dirimu...

3 Juli 2010

Playboy Cap Ikhwan

Hampir dua tahun ini aku merasa sangat dekat dengan seorang ikhwan. Dekat bukan dalam artian hubungan secara khusus (pacaran) lho, tapi dekat dalam arti akrab. Kebetulan kami pernah se-organisasi dan sangat sering berinteraksi, baik secara langsung, telepon, atau sekedar sms. Bahkan setelah kepulanganku ke Magelang pun kami masih sering berkomunikasi secara intens melalui sms dan telephon.

Sebelumnya aku sama sekali tidak mengenalnya, karena memang kami beda kampus. Kami menjadi akrab saat sama-sama menjadi panitia di sebuah acara yang diselenggarakan oleh organisasi kami dan itu mengharuskan kami untuk sering melakukan komunikasi demi kelancaran acara tersebut. Dan kami lebih memilih sms sebagai sarana dalam berkomunikasi karena lebih hemat, maklum anak kos, hehe…

Pada awalnya sms-sms kami masih seputar prepare kegiatan tersebut, namun sampai acara evaluasi kegiatan berakhir, sms itu masih berlanjut. Aku menganggap, ah hanya sms biasa, karena hanya seputar bagaimana kabarku, sudah nyampe mana skripsiku, dan sms-sms lain yang banyak berisi motivasi dan doa. Namun seiring berjalannya waktu, sms-sms itu semakin sering dan kadang terkesan “aneh”, seperti misalnya kapan aku nikah, udah proses ma ikhwan atau belum, ikhwan seperti apa yang aku inginkan, dan beberapa lagi yang aku lupa isinya, tapi masih seputar itulah.....

Sempat terlintas di benakku, ini ikhwan beneran ga sih, tarbiyah ga sih. Tapi ternyata setelah aku tanyakan kepada seorang teman yang satu kampus dengannya, dia termasuk salah satu ikhwan terbaik di kampusnya, baik dari segi tarbawi maupun da’awinya (juga termasuk ikhwan yang menjadi idola beberapa akhwat di kampusnya). Wah, bukan ikhwan “sembarangan” dong kalo gitu, tapi kok gitu ya?! Hmm......apa mungkin karena dia ikhwan seniman ya, jadi fleksibel banget kalo sama akhwat...?? Entahlah.....

Seiring berjalannya waktu, sms itu terus berlanjut, dan jujur itu membuatku sedikit “kacau”. Karena pada akhirnya aku terbiasa dengan perhatian-perhatiannya, meskipun itu hanya sebatas sms. Aku juga merasa nyaman membicarakan apapun dengannya via telepon atau saat bertemu langsung. Dan selanjutnya, akupun merasa ada yang tidak wajar dengan kedekatan kami. Ada yang tidak biasa yang aku rasakan dalam hatiku, dan aku aku tak tahu apa itu.... Ah, wanita memang mudah terpesona dengan kata-kata.

Kondisi itu aku ceritakan kepada seorang teman akhwat yang kebetulan satu kampus dengan ikhwan tersebut. Dan ternyata dia juga pernah mengalami hal yang serupa dengan ikhwan itu, bahkan lebih parah lagi, karena tuh akhwat sampe berharap dan yakin banget kalo tuh ikhwan bakalan memilihnya. Juga informasi dari beberapa akhwat di kampusnya yang pernah menjadi “korbannya”. Bahkan akhwat dari kota lain yg dia kenal saat ada acara di Semarang pun mengatakan kepadaku bahwa si ikhwan itu pernah terus terang mengatakan via sms kalo dia suka sama tuh akhwat. Hwaaaaa........ Dasar!!!! Akunya udah Ge-eR, eh ternyata banyak juga yg di-GR-in sama dia. Emang dasar “playboy cap ikhwan” kali ya, tebar pesona kemana-mana......